Friday, June 5, 2009

How to Start Public Speaking

By Lisa Nuryanti

Memulai segala sesuatu memang yang paling sulit. Tapi sebenarnya tidak sulit kalau kita mau mencoba. Seperti orang belajar mengendarai sepeda. Kalau cuma duduk dalam kelas dan mendengarkan bagaimana caranya mengendarai sepeda, sampai kapanpun dia tidak akan bisa. Dia harus mencoba menaiki sepedanya. Orang yang belajar berenang juga tidak bisa hanya duduk dalam kelas dan mendengarkan ceramah mengenai cara berenang. Dia harus terjun ke air dan mencoba sendiri, baru bisa.
Suatu hari, ketika saya sedang memberikan training di sebuah perusahaan, seorang ibu memperkenalkan dirinya. Ternyata dia bertugas sebagai MC pada hari itu. Dia berkata:"Waduh bu, saya grogi banget. Biasanya MCnya Ibu Linda, tapi dia lagi sakit. Jadinya saya yang disuruh. Bagaimana ya? Saya belum pernah jadi MC bu."
"Bagus bu. Maju saja.", kata saya.
"Nanti ngomong apa?", tanyanya kurang yakin.
"Ngomong apa saja bu. Terserah ibu."
"Hah?"
"Bu, kalau ibu tidak maju dan mencoba, maka sampai kapanpun ibu tidak akan pernah bisa. Tahun depan ibu juga akan tetap seperti sekarang ini.", kata saya.
"Iya ya?"
Diapun maju dan nekat memulai acara. Ternyata lancar kok.
Setahun kemudian, saya membawakan training di perusahaan itu lagi, karena memang tiap tahun mereka mengundang saya. Ibu yang menjadi MC tahun lalu mendekati saya dan berkata:"Bu, saya jadi MC lagi."
"Wah, bagus sekali bu."
"Bu, tahun kemarin saya sudah enam kali jadi MC", katanya berseri-seri, "Betul kata ibu. Kalau saya dulu tidak mencoba, maka tahun ini saya tetap tidak bisa dan akan takut seperti tahun lalu."
Saya sangat senang mendengar kemajuan yang dialaminya. Yang penting langkah awalnya. Coba dulu. Supaya tidak takut, maju saja. GO FOR IT!

Thursday, June 4, 2009

Uang

By Lisa Nuryanti


Deni sedang kesulitan keuangan, begitu kata teman-temannya. Kok tahu? Karena setiap kali kekurangan uang, Deni selalu sibuk meminjam uang sana sini. Beberapa temannya ada yang menolak karena setiap bulan dia meminjam uang.

Memang, setelah gajian pasti dibayar, tapi beberapa hari kemudian pinjam lagi. Lama-kelamaan teman-temannya merasa keberatan. Kalau sudah demikian, maka Deni sibuk mencari-cari siapa yang dapat meminjamkan uangnya.

Akhirnya Deni mendapatkan juga uang yang dibutuhkannya dari pinjaman seorang office boy. Sebenarnya Deni malu. Uangnya sudah habis padahal baru tanggal 16. Dia sudah tidak punya uang lagi untuk naik kereta ke kantor dan untuk biaya makan.

Ketika dia sedang berkeluh kesah dan bingung, tiba-tiba office boy menawarkan uangnya. Dia tidak sampai hati melihat Deni kesulitan. Deni tadinya menolak karena malu. Masak staf meminjam uang dari office boy? Tapi orang tersebut benar-benar rela ingin membantunya, sehingga akhirnya Deni menerima bantuannya.

Dalam hati kecilnya Deni merasa sangat malu. Malu sekali!. Tapi Deni terpaksa menerimanya, dia benar-benar tidak punya uang. Keesokan harinya dia ingin mencari office boy tersebut dan mengajaknya berbincang-bincang. Deni penasaran. Mengapa office boy tersebut bisa punya uang lebih dan bahkan bisa meminjamkan uangnya kepada Deni?

Bukankah gaji Deni lebih besar? Mereka sama-sama masih bujangan, belum menikah. Tapi, mengapa office boy tersebut bisa menyimpan uang sedangkan Deni selalu kehabisan uang? Kok bisa? Apa kuncinya?

Siangnya Deni baru mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dan bertukar pikiran. Office boy itu memang sangat istimewa. Dia paling rajin bekerja. Paling tuntas mengerjakan semua tugasnya. Tidak pernah terlambat masuk kerja. Padahal kalau dilihat penampilannya sepertinya biasa saja. Orangnya sederhana, agak kurus dan sopan, tapi tidak terkesan menjilat.

Sambil makan siang bersama di warung sebelah, Deni mulai menggali kunci sukses menyimpan uang yang dilakukan office boy tersebut. "Bagaimana caranya sih, kok bisa mempunyai uang lebih? Gaji saya selalu habis setelah tengah bulan." Deni membuka percakapan.

Office boy tersebut mulai bercerita. "Saya dulu juga begitu, mas. Gaji saya selalu habis sebelum akhir bulan. Akhirnya saya terpaksa meminjam dari teman. Tapi setelah meminjam, rasanya gaji saya semakin tidak cukup. Karena setiap kali gajian, saya harus mengembalikan uang yang saya pinjam di bulan sebelumnya. Jadi uang gaji saya berkurang. Akibatnya saya semakin kekurangan mas. Gaji utuh saja tidak cukup, apalagi setelah dipotong untuk membayar utang. Ya, semakin berkurang lah mas. Semakin lama, utang saya semakin banyak"

Benar juga, pikir Deni. Pikiran yang sederhana tapi mengandung kebenaran karena seperti itulah yang dialaminya. "Jadi bagaimana caranya melepaskan diri dari lilitan utang?" tanya Deni.

"Waktu itu saya diajari oleh nenek saya. Saya pernah pulang kampung tanpa membawa uang banyak. Waktu itu nenek saya bertanya kemana gaji saya. Saya bilang sudah habis. Langsung saya dipanggil dan diberi wejangan oleh beliau." katanya.

Nenek saya berkata: "Uang itu seperti air. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kalau tidak dibendung, maka air akan mengalir terus. Seperti sungai. Harus dibendung. Setelah dibendung, maka uang akan berhenti mengalir dan akan mulai bertambah banyak."

Hidup prihatin

Waktu itu saya bertanya: "Bagaimana cara membendungnya?" Nenek saya menjawab tegas:"Prihatin. Bulan depan jangan utang lagi."

"Tapi nanti kurang nek."

"Tidak", kata nenek. "Begini caranya. Begitu terima gaji, segera lunasi utangmu. Sisanya harus dicukupkan untuk sebulan. Jangan utang. Kamu jangan makan di luar atau jajan. Kalau perlu makan nasi putih dan garam, kecap atau kerupuk saja. Pasti cukup." Lalu saya diajak menghitung berapa uang yang harus saya sisihkan untuk ongkos, berapa untuk beli beras, garam, kecap dan kerupuk, dan lain-lain.

Nenek benar-benar meminta saya hidup secara prihatin. Saya tidak boleh naik ojek lagi. Dari rumah saya harus berjalan kaki ke jalan raya tempat saya naik angkutan umum. Pulangnya juga tidak naik ojek karena ojek cukup mahal. Uang saya memang pas-pasan untuk hidup ngirit seperti itu. Tapi memang cukup sih."

"Bulan depannya, saya disarankan untuk melanjutkan hidup seperti itu. Bulan depannya, uang gaji saya sudah mulai ada yang bisa saya sisihkan untuk ditabung.

Bulan ketiga saya mulai makan lebih banyak demi menjaga kondisi tubuh saya, bukan lagi dengan garam dan kecap. Tapi dua bulan hidup sederhana telah membuat saya tidak ingin beli apa-apa lagi. Makanan saya cukup sederhana saja. Saya tidak lagi suka jajan. Saya tidak pernah naik ojek lagi. Dari situlah saya mulai bisa menabung mas. Sampai sekarang."

Deni bertanya:"Boleh tahu berapa tabungan kamu? Tapi kalau kamu keberatan menjawab, tidak apa-apa. Tak usah dijawab."

"Tidak apa-apa mas. Tabungan saya hampir enam juta rupiah. Saya ingin menabung untuk biaya pernikahan saya tahun depan Mas."

Deni hanya bisa terharu. Yang penting niat. Kalau mau ngirit, pasti bisa. Mengapa uangnya habis terus? Karena pengeluaran Deni cukup besar. Padahal sebenarnya bisa dikurangi. Tapi Deni cenderung memanjakan dirinya. Dia selalu memilih naik ojek. Makan siang selalu di luar, tidak pernah mau membawa nasi atau makanan dari rumah. Pengeluarannya jauh melebihi gaji yang diperolehnya.

Rasa haru campur malu membuat Deni bertekad mengubah cara hidupnya. Dia juga ingin membendung uang yang dimilikinya. Dia takkan membiarkan uangnya mengalir terus. Harus segera dibendung. Mulai kapan? Hari ini! Change! Start today! Start now!

Lisa Nuryanti
Personal Development Expert
President Director Expands Consulting
E-mail: expands@cbn.net.id